Sumber image: GettyImage/Tracey Nearmy
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Fact-Meter.com
Di penghujung tahun 2023 menjelang pilpres 2024 menjadi momen gelaran politik pamungkas dari Jokowi. Selama hampir dua puluh tahun ia menjadi kader PDIP, baru kali ini ia memeragakan aksi politik monumental yang mematahkan tuduhan banyak orang yang kerap menyebut dirinya sebagai presiden boneka.
Tuduhan itu rasanya mudah saja untuk di alamatkan kepadanya, mengingat Jokowi adalah satu – satunya presiden Indonesia yang bukan berasal dari latar belakang elite parpol dan juga bukan seorang jenderal angkatan darat. Maka banyak orang beranggapan sosok pengusaha mebel dari kota Solo ini akan lemas tak berdaya ketika menghadapi kuatnya hegemoni dalam PDIP, yang rasanya hampir semua orang tahu bahwa sami’na wa athona (kami dengar dan kami patuh) adalah sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap kader ketika berhadapan dengan sang penguasa partai, Megawati.
Kini, partai yang semenjak reformasi 1998 tak pernah berganti ketua umum itu kehilangan Jokowi sebagai salah satu modal politik utama nya dalam menghadapi pilpres yang akan dilaksanakan februari tahun depan. Jokowi meninggalkan PDIP. Meski secara raga ia masih menjadi kader, namun ruh nya tak lagi bersama. Lebih dari sekedar meninggalkan, ia melawan Megawati dengan ‘menempatkan’ putra – putranya berada di barisan Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres untuk berhadapan langsung di pertempuran politik melawan partai berlambang banteng bermoncong putih itu.
Lihat saja bagaimana si bungsu Kaesang Pangarep mengukir sejarah politik tersendiri dengan menduduki jabatan ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, hanya dengan menjadi kader partai tersebut selama dua hari. Si sulung, Gibran Rakabuming maju dalam pilpres 2024 dengan menjadi cawapres Prabowo segera setelah Mahkamah Konstitusi memperbolehkan seseorang dengan usia dibawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Sementara sang mantu, Bobby Nasution menyatakan dukungannya kepada Pasangan Prabowo – Gibran melalui Deklarasi Barisan Pengusaha Pejuang pada November lalu.
Lalu, bagaimana manuver politik Jokowi tersebut direspon? Panda Nababan yang begitu istiqomah mengkritik pemerintahan Jokowi semenjak periode pertama menyebut Gibran yang maju sebagai cawapres Prabowo sebagai ‘anak ingusan’. Sedangkan Rocky Gerung menyebut diangkatnya Kaesang sebagai Ketum PSI sebagai momen ‘dimana kaum profesional (PSI) tiba – tiba jadi kacung’. Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kota Medan melayangkan surat pemberitahuan kepada Bobby yang menyatakan bahwa walikota Medan tersebut telah terbukti melakukan tindakan pelanggaran kode etik & disiplin anggota partai dengan tidak mematuhi peraturan dan keputusan partai karena mendukung pasangan capres dan cawapres yang diusung oleh partai politik lain. Ganjar Pranowo yang sebelumnya memposisikan dirinya sebagai suksesor Jokowi, kini berubah haluan menjadi oposisi dengan melontarkan kritik kepada pemerintah, seperti meruginya BUMN karya dan menuding pemerintah melakukan intervensi untuk memenangkan pasangan calon capres – cawapres tertentu. Ganjar juga dengan jelas mengatakan bahwa ‘Pak Jokowi tidak bersama kami lagi’ dalam sebuah talkshow yang diadakan oleh kumparan.com.
‘Pak Jokowi tidak bersama kami lagi’. Dalam beberapa tahun lalu sebelum riuh rendah pilpres 2024, pernahkah terbayang dalam benak kita bahwa statement itu akan keluar dari mulut salah satu kolega dekat Jokowi di PDIP? Dalam benak haters Jokowi sekalipun, sulit untuk membayangkan sosok yang lekat dalam pikiran mereka sebagai presiden boneka partai akan melakukan manuver politik sekeras ini. ‘Restu’ Jokowi atas langkah politik putra – putranya untuk melawan partai yang membesarkan dirinya sendiri ini begitu tak terbayang. Bukan karena naif, tapi karena manuver politik ini yang begitu sulit diasosiasikan dengan identitas Jokowi yang selama ini dikenal sebagai kader partai yang manut dan nurut.
Sebesar itukah keinginan Jokowi untuk menghalau laju PDIP? Lantas kalau iya, mengapa? Seluk beluk apa yang ia ketahui tentang partainya sendiri, yang membuatnya ingin menghentikan three – peat victory PDIP dalam pemilu 2024?