Fact or Hoax

Ruwatan di Bulan Sura: Mengupas Tradisi dan Sejarah di antara Kepercayaan dan Realitas

Cek Fakta
lex
31 July 2024
cover
(sumber image: detik.com)

Bulan Sura dikenal sebagai momen ikonik dalam budaya Jawa dengan berbagai tradisi dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun. Bulan Sura adalah masa ketika masyarakat Jawa memasuki tahun baru dalam kalender Jawa, bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Salah satu perayaan yang lekat dalam masyarakat memasuki bulan ini adalah tradisi Malam 1 Sura (atau Malam Satu Suro dalam bahasa Jawa). Malam 1 Sura adalah malam pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan malam 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Bulan Sura juga penuh dengan kisah-kisah mitos dan urban legend yang berkembang di masyarakat. Salah satu tradisi menonjol di Bulan Sura adalah ruwatan, yang sarat nilai spiritual dan budaya. Tim FactMeter mencoba menelusuri fakta-fakta tentang sejarah Bulan Sura maupun tradisi ruwatan, dan mengklarifikasi mitos-mitos yang menyertainya. Dengan begitu, kita akan memahami makna sebenarnya dari tradisi ini dan mengapresiasi kekayaan budaya Jawa secara lebih mendalam.

 

Apa itu Bulan Sura?

Bulan Sura merupakan waktu yang penuh dengan berbagai ritual dan tradisi yang sarat makna. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Sesaji Suro: sesaji berupa bubur Suro disiapkan untuk memperingati “Sangkaning Dumadi,” yaitu asal-usul kehidupan manusia. Dalam ritual ini, masyarakat juga sering melakukan puasa dengan tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari makhluk bernyawa, seperti mengganti nasi dengan sayuran.
  2. Ruwatan: ritual untuk membersihkan diri dari segala kesialan dan energi negatif. Proses ini melibatkan doa-doa dalam bahasa Kawi dan Sanskerta, seperti Doa Raja Kala Cakra dan Doa Caraka Balik. Ruwatan memiliki berbagai bentuk, seperti Ruwat Negari untuk negara, Ruwat Kota untuk kota, dan Ruwat Desa untuk desa. Ruwatan massal juga diadakan pada tanggal tertentu untuk membersihkan banyak orang sekaligus.
  3. Jamas Pusaka: Pusaka-pusaka keraton dibersihkan dalam ritual Jamas Pusaka, baik secara individu maupun massal. Ritual ini dipimpin oleh sesepuh yang ahli dalam bidangnya, dengan tujuan menjaga dan memberkati pusaka-pusaka yang dianggap sakral.
  4. Kirab Pusaka di Surakarta dan Yogya: Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran mengadakan kirab pusaka bersamaan dengan prosesi Tapa Bisu sebagai bagian dari tradisi tahunan. Dilansir dari Kompas.com, Laku Tapa Bisu adalah berjalan sambil bertapa membisu. Tapa Bisu memiliki filosofinya tersendiri, yakni keheningan sebagai tanda mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus merenungi segala tindakan dan perkataan yang sudah dilalui.
  5. Ziarah Makam Pahlawan: kunjungan masyarakat ke makam pahlawan untuk berdoa dan menghormati jasa-jasa mereka. Ziarah ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sejarah perjuangan.
  6. Nyadaran ke Makam Leluhur: ziarah ke makam leluhur atau “nyadaran” dilakukan untuk menghormati dan mendoakan arwah leluhur. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap garis keturunan dan sejarah keluarga.

 

Kelahiran Budaya Jawa dan Spiritualitas

Bulan Sura ditafsirkan sebagai hari kelahiran budaya Jawa. Proses penciptaan manusia dijelaskan dalam tahapan sebagai berikut: Eko Kamandani (satu bulan), Dwi Panunggil (dua bulan), Tri Lokomoyo Jati (tiga bulan), Catur Hanggajati (empat bulan), Panca Yitma Jati (lima bulan), Sakluko Jati (enam bulan), Sapto Kawasa Jati (tujuh bulan), Hasta Sabda Jati (delapan bulan), Pasa (sembilan bulan), Badha (sembilan bulan sepuluh hari, lahirnya bayi). Setiap tahap tersebut disyukuri dan dirayakan.

 

Ruwatan Sebagai Budaya Spiritual 

Ruwatan adalah tradisi yang murni budaya dan spiritual, tanpa unsur agama tertentu. Proses ini menekankan pada nilai ikhlas dan menerima (lila legowo), serta pelestarian budaya (uri-uri budaya). Meskipun tidak diwajibkan, keyakinan dan ketulusan dalam menjalani ruwatan adalah kunci utama. Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) telah menyelenggarakan ruwatan massal selama sekitar 14 tahun, dengan antusiasme masyarakat yang luar biasa. Acara ini diikuti oleh berbagai kalangan, tidak hanya dari Jawa Timur, tetapi juga dari daerah lain.

Ruwatan adalah salah satu bentuk kekayaan budaya Jawa yang tetap relevan hingga kini, menjadi sarana bagi masyarakat untuk membersihkan diri dari kesialan dan mencari berkah serta kesejahteraan dalam hidup. Ruwatan, dengan segala ritual dan doanya, menjadi bagian penting dari upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keseimbangan spiritual dan menghormati warisan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Ruwatan sebenarnya bisa dilakukan kapan saja sepanjang tahun, namun banyak masyarakat Jawa yang merasa lebih mantap melakukannya di Bulan Sura karena dianggap sakral.

 

Proses dan Ritual Ruwatan dalam Budaya Jawa

Ruwatan adalah tradisi penting dalam budaya Jawa yang bertujuan untuk menghilangkan kesialan dan segala bentuk ketidakbaikan dari individu atau kelompok. Ritual ini menggunakan doa-doa khusus dalam bahasa Kawi dan Sanskerta, yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual tinggi. Ruwatan berasal dari kata “ruwat” yang berarti dijauhkan dari segala kesialan. Ada beberapa jenis ruwatan yang dikenal dalam masyarakat:

  • Ruwat Negari: Doa untuk menjauhkan negara dari ketidakbaikan.
  • Ruwat Kota: Doa untuk kesejahteraan kota.
  • Ruwat Desa: Doa untuk kesejahteraan desa.
  • Ruwatan Massal: Ruwatan yang dilakukan secara kolektif untuk membersihkan banyak orang sekaligus, biasanya diadakan pada tanggal tertentu.

Ruwatan sendiri melibatkan berbagai ritual lainnya, seperti:

  1. Wayangan: pertunjukan wayang kulit yang dipimpin oleh dalang khusus. Tidak semua dalang memiliki keberanian dan kemampuan untuk meruwat, karena prosesi ini membutuhkan keteguhan hati dan persiapan spiritual yang mendalam. Dalang yang memimpin ruwatan biasanya menjalani puasa dan meditasi selama satu minggu sebelumnya. Wayang dalam ruwatan berbeda dari wayang hiburan biasa dan tidak melibatkan sinden yang bernyanyi. Cerita yang dibawakan mengandung nilai-nilai spiritual dan bertujuan untuk membersihkan energi negatif.
  2. Siraman Air Bunga Setaman: peserta ruwatan akan diguyur air bunga setaman untuk menghanyutkan segala ketidakbaikan yang ada di tubuh mereka. Ritual ini mirip dengan prosesi yang dilakukan menjelang pernikahan, simbolik untuk membersihkan dan mempersiapkan diri.
  3. Sungkeman: peserta melakukan sungkeman kepada orang tua atau wali sebagai bentuk penghormatan dan permohonan restu. Jika orang tua sudah tiada, dalang atau sesepuh lainnya akan menjadi wali.

 

Mitos dan Fakta seputar Bulan Sura dan Ruwatan

Banyak mitos beredar di kalangan masyarakat Jawa, seperti:

  • Bulan Sura adalah bulan penuh kesialan
    • Hal ini juga dikatakan Prof. Dr. Bani Sudardi, Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dikutip dari artikel di kompas.com, yang menyebutkan bahwa: “Pada umumnya orang Jawa salah kaprah menganggap bulan Suro sebagai bulan yang celaka. Mereka tidak menggunakan petungan tetapi menggunakan ilmu yang oleh orang Jawa disebut sebagai ilmu gudel bingung atau ilmu anak kerbau yang bingung.”
    • Faktanya: Bulan Sura dianggap sebagai bulan sakral dalam budaya Jawa, bukan bulan yang membawa kesialan. Tradisi ruwatan, yang biasanya dilakukan di Bulan Sura, mencerminkan keyakinan masyarakat dalam mencari perlindungan dan berkah dari Tuhan. Banyak ritual dilakukan selama Bulan Sura, seperti puasa dengan tidak mengonsumsi makanan bernyawa, hanya makan sayuran atau buah-buahan.
  • Tidak boleh mengadakan hajatan atau pernikahan di Bulan Sura
    • Hal ini juga diperkuat oleh Dr. Sunu Wasono, Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), dilansir dari artikel di kompas.com
    • Faktanya: Bulan Sura sering kali dijadikan waktu untuk merenung, berdoa, dan melakukan ritual spiritual. Ini adalah waktu untuk refleksi diri dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas keberkahan dan keselamatan, serta memanjatkan doa dan harapan. Larangan mengadakan hajatan lebih kepada kepercayaan tradisional yang menekankan perlunya introspeksi diri. untuk tahun mendatang.
  • Ruwatan hanya dilakukan untuk orang-orang tertentu saja
    • Faktanya: Ruwatan terbuka untuk siapa saja yang merasa memerlukan ritual ini untuk menghilangkan kesialan.

 

Siapa saja yang boleh ikut Ruwatan di Malam 1 Sura?

Beredar mitos yang menyatakan bahwa “ruwatan hanya dilakukan untuk orang-orang tertentu saja”. Fakta yang didapatkan tim FactMeter menyebutkan bahwa ruwatan terbuka untuk siapa saja yang merasa memerlukannya. Masyarakat Jawa yang disebut “nggowo sukerto” (membawa beban kesialan), sering kali dianjurkan untuk mengikuti ruwatan. Beberapa kategori orang nggowo sukerto yang populer di antaranya:

  • Ontang-Anting: Anak laki-laki tunggal dalam keluarga.
  • Lumunting: Anak perempuan tunggal dalam keluarga.
  • Kendana-Kendini: Dua anak dalam satu keluarga: laki-laki dan perempuan.
  • Sendang Kapit Pancuran: Anak perempuan kedua yang diapit oleh dua saudara laki-laki.
  • Pancuran Kapit Sendang: Anak laki-laki kedua yang diapit oleh dua saudara perempuan.
  • Sarombo: Empat anak laki-laki.
  • Sarimbi: Empat anak perempuan.
  • Pandawa: Lima anak laki-laki.
  • Pendawi: Lima anak perempuan.

Selain itu, ruwatan juga dianjurkan bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam hidup, seperti sulit mendapatkan pekerjaan, mencari jodoh, atau menghadapi hambatan dalam usaha.

 

Sejarah Bulan Sura

Menurut artikel di detik.com, perayaan Malam 1 Sura dimulai dengan tujuan memperkenalkan kalender Islam kepada masyarakat Jawa. Pada tahun 931 Hijriah atau 1443 Tahun Jawa Baru, di masa Kerajaan Demak, Sunan Giri II menyatukan sistem kalender Hijriah dengan kalender Jawa. Namun, catatan sejarah lainnya menyebutkan bahwa penetapan 1 Sura sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak masa Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun baru Saka sebagai 1 Sura, menggabungkan kalender Saka dengan Hijriah menjadi kalender Jawa.

Langkah Sultan Agung ini bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa dan mencegah perpecahan akibat perbedaan keyakinan, sehingga rakyat bisa bersatu melawan Belanda di Batavia. Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Oleh karena itu, 1 Sura sebagai hari pertama dalam kalender Jawa di Bulan Sura bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Upaya Sultan Agung juga dimaksudkan untuk menyatukan kelompok santri dan abangan. Setiap Jumat Legi dilakukan laporan pemerintahan setempat, pengajian oleh para penghulu kabupaten, dan ziarah kubur serta haul ke makam Ngampel dan Giri. Tradisi ini menggambarkan awal dari keramatnya 1 Muharram dan 1 Sura Jawa, yang dianggap sial jika dimanfaatkan di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Ki Madiro, Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Surabaya, menjelaskan bahwa pada awalnya Tahun Baru Jawa dan Tahun Baru Islam (Muharram) berdiri sendiri-sendiri. Orang Jawa dahulu menggunakan kalender berdasarkan sistem tata surya atau putaran matahari. Perubahan ini terjadi pada masa Sultan Agung yang dikenal dengan istilah budaya “Sabda Pandita Ratu,” yang berarti apa yang dikatakan raja akan diikuti oleh rakyatnya. Sultan Agung mengadakan ritual besar-besaran, sesaji, dan menyebarkan informasi bahwa tanggal 17 tahun 1555 Jawa dilebur menjadi 1 Muharram, sehingga kalender Jawa bergabung dengan Sura. Sultan Agung menginstruksikan rakyatnya untuk merayakan 1 Sura sebagai hari raya orang Jawa, hari sakral penuh berkah yang diikuti hingga sekarang.


Referensi:

  1. Wawancara langsung dengan Ki Madiro, Ketua MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Surabaya.
  2. Wawancara Ki Madiro, Ketua MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Surabaya, dalam program siaran radio RRI Surabaya yang tayang pada 14 Juli 2024 pukul 20:20 WIB.
  3. Arieza, U. (2022, August 3) Apakah Dilarang Menikah Saat Bulan Suro? Ini Penjelasannya. KOMPAS.com. https://travel.kompas.com/read/2022/08/03/110100427/apakah-dilarang-menikah-saat-bulan-suro-ini-penjelasannya-?page=all
  4. detikcom, T. (2023, July 18) Sejarah Malam 1 Suro dan Maknanya bagi Masyarakat Jawa. detiknews. https://news.detik.com/berita/d-6829247/sejarah-malam-1-suro-dan-maknanya-bagi-masyarakat-jawa
  5. Prasetya, A.W. (2023, July 20) Mengenal Laku Tapa Bisu yang Dilakukan Peserta Kirab Malam 1 Suro di Solo dan Yogya. KOMPAS.com. https://travel.kompas.com/read/2023/07/20/163100627/mengenal-laku-tapa-bisu-yang-dilakukan-peserta-kirab-malam-1-suro-di-solo-dan