Fact or Hoax

Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Cek Fakta
GI
30 October 2024
cover
Sumber gambar: detikNews

Kabinet Merah Putih baru saja terbentuk. Dalam jajaran kabinet yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra memberikan pernyataannya mengenai kasus pelanggaran HAM di Indonesia (21/10/2024) usai dirinya dilantik. Yusril memberikan klaim bahwa Tragedi Mei 1998 tidak termasuk sebagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. “Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, ethnic cleansing, dan tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir. (Tragedi 1998) enggak termasuk,” ucap Yusril (Makdori, 2024). Lantas, apakah benar Tragedi Mei 1998 tidak termasuk dalam daftar kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia? Sementara kasus apa saja yang terdaftar dalam pelanggaran HAM Berat di Indonesia? Berikut tim FactMeter merangkum dari berbagai sumber. 

Dilansir dari situs Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia tentang Pernyataan Pers Presiden RI Tentang Pelanggaran HAM Berat dan Presiden Jokowi Sesalkan HAM yang terjadi di Tanah Air yang dipublikasikan pada 11 Januari 2023, secara jelas Presiden Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 menyatakan terdapat 12 daftar peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, di antaranya adalah Peristiwa Kerusahan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998, dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999. Berikut daftar peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia di tahun 2023, 

  1. Peristiwa 1965-1966;
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
  6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
  9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
  10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
  11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan
  12. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Sementara mengutip dari situs komnasham.go.id dalam artikel yang diterbitkan pada (29/09/2023), Komnas HAM menyampaikan pelanggaran HAM berat yang menjadi prioritasnya. Di Indonesia terdapat 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Dari belasan peristiwa yang telah diselidiki, Komnas HAM menyatakan empat peristiwa yakni, Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai telah memiliki keputusan pengadilan. Meskipun secara hasil belum memberikan keadilan bagi para korban. 

Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran HAM yang Berat?

Menurut Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, yang dimaksud ‘pelanggaran hak asasi manusia yang berat’ adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudical killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Sementara dalam UU Pengadilan HAM, pengertian pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Siapa yang Memiliki Wewenang Mengadili Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu?

Pengadilan HAM ad hoc berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Pengadilan HAM ad hoc berwenang memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc ini berada di lingkungan peradilan umum dan dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Terkait dengan alur atau mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc tidak diatur secara jelas di dalam UU Pengadilan HAM. Namun, berdasarkan pengalaman pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, alurnya adalah sebagai berikut:

  1. Penyelidikan oleh Komnas HAM mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat masa lalu;
  2. Hasil penyelidikan diserahkan kepada kejaksaan agung dan dilakukan penyidikan;
  3. Hasil penyidikan oleh kejaksaan agung diserahkan ke presiden;
  4. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan surat rekomendasi kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delicti tertentu;
  5. Presiden mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Dilansir dari hukumonline.com (2022), selain melalui mekanisme yudisial, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu juga dilakukan melalui mekanisme non-yudisial. Hal ini termaktub di dalam Keppres 17/2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat di masa lalu (“PPHAM”).

Pasal 3 Keppres 17/2022 memberikan tugas kepada tim PPHAM untuk:

  1. melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat di masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020;
  2. merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan
  3. merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Tim PPHAM ini kemudian memberikan 11 rekomendasi kepada presiden untuk mengambil beberapa tindakan di antaranya menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, melakukan pendataan kembali korban, memulihkan hak korban, dan lainnya.


Referensi

  1. Safitri, E. (2024, October 22). Yusril Klarifikasi Pernyataan Tragedi 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-7600362/yusril-klarifikasi-pernyataan-tragedi-1998-bukan-pelanggaran-ham-berat
  2. Makdori, Y. (2022, June 14). Gabung Kabinet Prabowo-Gibran, Yusril Sebut Tragedi 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat. Asumsi. https://asumsi.co/post/96074/gabung-kabinet-prabowo-gibran-yusril-sebut-tragedi-1998-bukan-pelanggaran-ham-berat/ 
  3. Pernyataan Pers Presiden RI tentang Pelanggaran HAM Berat. (2023, January 11). Kementerian Sekretariat Negara. https://www.setneg.go.id/baca/index/pernyataan_pers_presiden_ri_tentang_pelanggaran_ham_berat 
  4. Humas Kementerian Sekretariat Negara. (2023, January 11). Presiden Jokowi Sesalkan Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di Tanah Air. Kementerian Sekretariat Negara. https://setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_sesalkan_terjadinya_pelanggaran_ham_berat_di_tanah_air
  5. Jadi Perbincangan Nasional, Pelanggaran HAM yang Berat Prioritas Bagi Komnas HAM. (2023, September 29). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – KOMNAS HAM. https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2023/9/29/2419/jadi-perbincangan-nasional-pelanggaran-ham-yang-berat-prioritas-bagi-komnas-ham.html 
  6. Hukum Online. (2022). Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Pusat Data Hukumonline. https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt632b09225d47e/keputusan-presiden-nomor-17-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=keppres_17_2022 
  7. Auli, R. C. (2023, December 20). Pelanggaran HAM Berat dalam Pasal 104 UU HAM. Klinik Hukumonline. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pelanggaran-ham-berat-dalam-pasal-104-uu-ham-lt6582aab55574e/